Jumat, 06 Maret 2009

Metode Penafsiran Al-Qur'an Menurut Imam Al-Ghazali

Judul: Metode Penafsiran Al-Qur'an Menurut Imam Al-Ghazali

Oleh: Bustanol Arifin



ABSTRAK


Di antara metode tafsir yang berkembang pada masa al-Ghazali adalah tafsir dengan corak su>fi dan fiqhi. Ketika itu, tafsir su>fi cenderung mengabaikan sisi zahir ayat dan sumber-sumber yang diperoleh secara ma's\u>r, sehingga penafsiran terhadap al-Qur'an menjadi tidak terkontrol dan sangat membahayakan terhadap pemahaman religius. Sementara metode tafsir fiqhi> yang berkembang saat itu terlalu kaku memegang sisi zahir dan sumber-sumber ma's\u>r dalam menafsirkan dan memahami al-Qur'an, sehingga al-Qur'an nampak hanya sebagai dogma hukum yang statis dan beku.

Menyikapi fenomena tersebut, imam al-Ghazali berusaha menawarkan sebuah metode penafsiran komprehensif terhadap al-Qur'an. Dengan metode penafsirannya ini, ia berusaha mendamaikan tafsir tekstual dan kontekstual, eksoterik dan esoterik serta ma's\u>r dan ra'yu. Memang selama ini sosok al-Ghazali lebih dikenal sebagai tokoh sufi daripada seorang mufasir al-Qur'an, padahal al-Ghazali sendiri konon pernah menulis kitab tafsir dengan judul Ya>qu>t al-Ta'wi>l fi> Tafsi>r al-Tanzi>l (Mutiara Ta'wil dalam Penafsiran al-Qur'an) yang terdiri dari 40 jilid dan bahkan dalam magnum opusnya yang berjudul Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, al-Ghazali menyediakan bab khusus yang memuat tentang etika membaca dan memahami al-Qur’an di samping ada juga karya beliau yang secara khusus mengkaji tentang al-Qur’an, yaitu Jawa>hir al-Qur'a>n wa Duraruhu.

Dengan demikian, untuk mengetahui secara detail mengenai tawaran metodologis penafsiran al-Ghazali terhadap al-Qur’an, maka permasalahan yang perlu dijawab adalah: Bagaimana metode penafsiran al-Qur'an yang ditawarkan oleh al-Ghazali? dan bagaimana aplikasi penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an?

Untuk mendapatkan data yang obyektif dari permasalahan tersebut di atas, maka penyusun menggunakan metode deskriptif-analitis yakni mencoba mendeskripsikan metode penafsiran yang ditawarkan oleh al-Ghazali beserta faktor yang melatarinya serta menganalisa peta metodologis dari penafsirannya.

Dalam Jawa>hir al-Qur'a>n wa Duraruhu, al-Ghazali membuat klasifikasi surat dan ayat al-Qur'an menjadi enam kelompok. Menurut al-Ghazali, masing-masing kelompok tersebut memiliki kriteria etis tersendiri dalam memahami dan menafsirkannyanya, misal ketika berhadapan dengan ayat-ayat eskatologis, al-Ghazali menggunakan penafsiran tekstual, namun ketika berjumpa dengan ayat-ayat kauniyyah, al-Ghazali menggunakan metode kontekstual, dan begitu seterusnya.

Dari sini dapat dilihat, betapa metode penafsiran yang ditawarkan al-Ghazali memiliki keistimewaan tersendiri, terutama terletak pada kemampuannya memberi tempat pada berbagai metode penafsiran sesuai proporsinya dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, dengan tetap mempertimbangkan nilai aqidah, is}la>h (syari’ah),dan akhlak. Pola penafsiran ini juga membuka kreatifitas dan produktifitas metode penafsiran di kalangan ummat Islam sehingga al-Qur’an akan mampu aktual di tengah-tengah ummatnya dalam berbagai konteks dan zaman.





Tafsir Bismillahi ar-Rahmanir Rahim menurut al-Qusyairi

Judul: Tafsir Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m Menurut al-Qusyairi>

(Telaah Terhadap Metode dan Penafsiran seorang Sufi)

Oleh: Ali Ghufron


ABSTRAK


Di antara metode tafsir yang berkembang pada masa al-Ghazali adalah tafsir dengan corak su>fi dan fiqhi. Ketika itu, tafsir su>fi cenderung mengabaikan sisi zahir ayat dan sumber-sumber yang diperoleh secara ma's\u>r, sehingga penafsiran terhadap al-Qur'an menjadi tidak terkontrol dan sangat membahayakan terhadap pemahaman religius. Sementara metode tafsir fiqhi> yang berkembang saat itu terlalu kaku memegang sisi zahir dan sumber-sumber ma's\u>r dalam menafsirkan dan memahami al-Qur'an, sehingga al-Qur'an nampak hanya sebagai dogma hukum yang statis dan beku.

Menyikapi fenomena tersebut, imam al-Ghazali berusaha menawarkan sebuah metode penafsiran komprehensif terhadap al-Qur'an. Dengan metode penafsirannya ini, ia berusaha mendamaikan tafsir tekstual dan kontekstual, eksoterik dan esoterik serta ma's\u>r dan ra'yu. Memang selama ini sosok al-Ghazali lebih dikenal sebagai tokoh sufi daripada seorang mufasir al-Qur'an, padahal al-Ghazali sendiri konon pernah menulis kitab tafsir dengan judul Ya>qu>t al-Ta'wi>l fi> Tafsi>r al-Tanzi>l (Mutiara Ta'wil dalam Penafsiran al-Qur'an) yang terdiri dari 40 jilid dan bahkan dalam magnum opusnya yang berjudul Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, al-Ghazali menyediakan bab khusus yang memuat tentang etika membaca dan memahami al-Qur’an di samping ada juga karya beliau yang secara khusus mengkaji tentang al-Qur’an, yaitu Jawa>hir al-Qur'a>n wa Duraruhu.

Dengan demikian, untuk mengetahui secara detail mengenai tawaran metodologis penafsiran al-Ghazali terhadap al-Qur’an, maka permasalahan yang perlu dijawab adalah: Bagaimana metode penafsiran al-Qur'an yang ditawarkan oleh al-Ghazali? dan bagaimana aplikasi penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an?

Untuk mendapatkan data yang obyektif dari permasalahan tersebut di atas, maka penyusun menggunakan metode deskriptif-analitis yakni mencoba mendeskripsikan metode penafsiran yang ditawarkan oleh al-Ghazali beserta faktor yang melatarinya serta menganalisa peta metodologis dari penafsirannya.

Dalam Jawa>hir al-Qur'a>n wa Duraruhu, al-Ghazali membuat klasifikasi surat dan ayat al-Qur'an menjadi enam kelompok. Menurut al-Ghazali, masing-masing kelompok tersebut memiliki kriteria etis tersendiri dalam memahami dan menafsirkannyanya, misal ketika berhadapan dengan ayat-ayat eskatologis, al-Ghazali menggunakan penafsiran tekstual, namun ketika berjumpa dengan ayat-ayat kauniyyah, al-Ghazali menggunakan metode kontekstual, dan begitu seterusnya.

Dari sini dapat dilihat, betapa metode penafsiran yang ditawarkan al-Ghazali memiliki keistimewaan tersendiri, terutama terletak pada kemampuannya memberi tempat pada berbagai metode penafsiran sesuai proporsinya dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, dengan tetap mempertimbangkan nilai aqidah, is}la>h (syari’ah),dan akhlak. Pola penafsiran ini juga membuka kreatifitas dan produktifitas metode penafsiran di kalangan ummat Islam sehingga al-Qur’an akan mampu aktual di tengah-tengah ummatnya dalam berbagai konteks dan zaman.

Kamis, 05 Maret 2009

Konsep Mu'allaf dalam Al-Qur’an

Judul: Konsep Mu'allaf dalam Al-Qur’ān

(Studi terhadap Tafsir al-Manār Karya M. Rasyid Ridha)

Oleh: Imam Mutaqien


ABSTRAK


Dalam tafsir-tafsir klasik dan pertengahan, kaum laki-laki digambarkan lebih superior dibanding perempuan, ayat yang dijadikan legitimasi dari hal tersebut adalah Q.S. al-Nisa>’(4): 34. Ayat ini juga dipahami sebagai legitimasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan (secara umum), padahal term-term yang digunakan al-Qur'an untuk mengungkapkan istilah kepemimpinan adalah: khilafah dan derivasinya diulang sembilan kali, kemudian ima>mah dan derivasinya diulang empat kali, wali> dan derivasinya diulang lima kali, dan al-mulk dan derivasinya diulang lima kali, dilihat dari redaksi dan asba>b al-nuzu>lnya ayat tersebut berbicara masalah kepemimpinan dalam konteks keluarga.Dari permasalahan diatas menarik untuk dicermati dan diteliti secara obyektif. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis mengkaji secara kritis mengenai apakah kelebihan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan itu bersifat fitri atau kasbi menurut perspektif al-Qur’an?, dan implikasinya apabila kelebihan itu bersifat fitri atau kasbi?, serta bagaimana maksud dari Q.S. al-Nisa>’(4): 34 dengan kajian semantik?.

Kajian penulis dalam penelitian ini berada pada wilayah teks al-Qur’an dengan menggunakan kajian linguistik yaitu kajian semantik, signifikansi dari penelitian ini adalah untuk melihat secara kritis maksud dari Q.S. al-Nisa>’(4): 34 dengan kajian semantik yang secara etimologi merupakan ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna. Dalam hal ini penulis menggunakan semantik leksikal, dengan topik kajian teori medan makna yaitu perbendaharaan kata dalam suatu bahasa memiliki medan struktur yang dapat dianalisis secara diakronis, dan paradigmatik. Teori ini berhubungan dengan kolokasi yaitu hubungan makna kata yang satu dengan kata yang lain memiliki hubungan ciri yang relatif tetap.

Dari penelitian ini ditemukan, bahwa sebenarnya Q.S. al-Nisa>’(4): 34 tidak tepat dijadikan legitimasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan (secara umum), karena ayat ini berbicara mengenai kepemimpinan dalam konteks keluarga, dibuktikan dengan adanya penyebutan pemberian nafkah dalam ayat tersebut. Secara normatif pemberian nafkah hanya wajib diberikan dalam jalinan dan ikatan rumahtangga. Dalam ayat tersebut, kata qawwa>mu>na tidak berkolokasi dengan kata al-z\akar tetapi berkolokasi dengan al-rija>l. Dalam al-Qur’an istilah yang digunakan untuk menyebutkan laki-laki dan perempuan ada dua jenis yang pertama al-rija>l dan al-nisa>’ (digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan dalam arti gender), yang kedua al-z\akar dan al-uns\a (digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan dalam arti jenis kelamin). Penggunaan kata fad}l dalam al-Qur’an tidak selalu menunjukkan kelebihan yang absolut karena ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin. Sedangkan kelebihan laki-laki atas perempuan adalah bersifat kasbi, karena bersifat kasbi perempuan memperoleh peluang yang sama dengan laki-laki sesuai dengan fungsinya masing-masing yang saling melengkapi satu sama lain, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah(2): 187. dan Q.S. al-Nisa>’(4):124.

Konsep Keluarga Sakinah dalam Tafsir al-Misbah

Judul: Kelebihan Sebagian Laki-Laki atas Sebagian Perempuan Perspektif Al-Qur’an (Kajian Semantik terhadap Surat al-Nisa>’(4): 34)

Oleh: Muh. Nur Ikhwan


ABSTRAK


Dalam tafsir-tafsir klasik dan pertengahan, kaum laki-laki digambarkan lebih superior dibanding perempuan, ayat yang dijadikan legitimasi dari hal tersebut adalah Q.S. al-Nisa>’(4): 34. Ayat ini juga dipahami sebagai legitimasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan (secara umum), padahal term-term yang digunakan al-Qur'an untuk mengungkapkan istilah kepemimpinan adalah: khilafah dan derivasinya diulang sembilan kali, kemudian ima>mah dan derivasinya diulang empat kali, wali> dan derivasinya diulang lima kali, dan al-mulk dan derivasinya diulang lima kali, dilihat dari redaksi dan asba>b al-nuzu>lnya ayat tersebut berbicara masalah kepemimpinan dalam konteks keluarga.Dari permasalahan diatas menarik untuk dicermati dan diteliti secara obyektif. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis mengkaji secara kritis mengenai apakah kelebihan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan itu bersifat fitri atau kasbi menurut perspektif al-Qur’an?, dan implikasinya apabila kelebihan itu bersifat fitri atau kasbi?, serta bagaimana maksud dari Q.S. al-Nisa>’(4): 34 dengan kajian semantik?.

Kajian penulis dalam penelitian ini berada pada wilayah teks al-Qur’an dengan menggunakan kajian linguistik yaitu kajian semantik, signifikansi dari penelitian ini adalah untuk melihat secara kritis maksud dari Q.S. al-Nisa>’(4): 34 dengan kajian semantik yang secara etimologi merupakan ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna. Dalam hal ini penulis menggunakan semantik leksikal, dengan topik kajian teori medan makna yaitu perbendaharaan kata dalam suatu bahasa memiliki medan struktur yang dapat dianalisis secara diakronis, dan paradigmatik. Teori ini berhubungan dengan kolokasi yaitu hubungan makna kata yang satu dengan kata yang lain memiliki hubungan ciri yang relatif tetap.

Dari penelitian ini ditemukan, bahwa sebenarnya Q.S. al-Nisa>’(4): 34 tidak tepat dijadikan legitimasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan (secara umum), karena ayat ini berbicara mengenai kepemimpinan dalam konteks keluarga, dibuktikan dengan adanya penyebutan pemberian nafkah dalam ayat tersebut. Secara normatif pemberian nafkah hanya wajib diberikan dalam jalinan dan ikatan rumahtangga. Dalam ayat tersebut, kata qawwa>mu>na tidak berkolokasi dengan kata al-z\akar tetapi berkolokasi dengan al-rija>l. Dalam al-Qur’an istilah yang digunakan untuk menyebutkan laki-laki dan perempuan ada dua jenis yang pertama al-rija>l dan al-nisa>’ (digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan dalam arti gender), yang kedua al-z\akar dan al-uns\a (digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan dalam arti jenis kelamin). Penggunaan kata fad}l dalam al-Qur’an tidak selalu menunjukkan kelebihan yang absolut karena ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin. Sedangkan kelebihan laki-laki atas perempuan adalah bersifat kasbi, karena bersifat kasbi perempuan memperoleh peluang yang sama dengan laki-laki sesuai dengan fungsinya masing-masing yang saling melengkapi satu sama lain, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah(2): 187. dan Q.S. al-Nisa>’(4):124.

Jumat, 27 Februari 2009

Kelebihan Sebagian Laki-Laki atas Sebagian Perempuan Perspektif Al-Qur’an

Judul: Kelebihan Sebagian Laki-Laki atas Sebagian Perempuan Perspektif Al-Qur’an (Kajian Semantik terhadap Surat al-Nisa>’(4): 34)

Oleh: Muh. Nur Ikhwan

ABSTRAK


Dalam tafsir-tafsir klasik dan pertengahan, kaum laki-laki digambarkan lebih superior dibanding perempuan, ayat yang dijadikan legitimasi dari hal tersebut adalah Q.S. al-Nisa>’(4): 34. Ayat ini juga dipahami sebagai legitimasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan (secara umum), padahal term-term yang digunakan al-Qur'an untuk mengungkapkan istilah kepemimpinan adalah: khilafah dan derivasinya diulang sembilan kali, kemudian ima>mah dan derivasinya diulang empat kali, wali> dan derivasinya diulang lima kali, dan al-mulk dan derivasinya diulang lima kali, dilihat dari redaksi dan asba>b al-nuzu>lnya ayat tersebut berbicara masalah kepemimpinan dalam konteks keluarga.Dari permasalahan diatas menarik untuk dicermati dan diteliti secara obyektif. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis mengkaji secara kritis mengenai apakah kelebihan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan itu bersifat fitri atau kasbi menurut perspektif al-Qur’an?, dan implikasinya apabila kelebihan itu bersifat fitri atau kasbi?, serta bagaimana maksud dari Q.S. al-Nisa>’(4): 34 dengan kajian semantik?.

Kajian penulis dalam penelitian ini berada pada wilayah teks al-Qur’an dengan menggunakan kajian linguistik yaitu kajian semantik, signifikansi dari penelitian ini adalah untuk melihat secara kritis maksud dari Q.S. al-Nisa>’(4): 34 dengan kajian semantik yang secara etimologi merupakan ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna. Dalam hal ini penulis menggunakan semantik leksikal, dengan topik kajian teori medan makna yaitu perbendaharaan kata dalam suatu bahasa memiliki medan struktur yang dapat dianalisis secara diakronis, dan paradigmatik. Teori ini berhubungan dengan kolokasi yaitu hubungan makna kata yang satu dengan kata yang lain memiliki hubungan ciri yang relatif tetap.

Dari penelitian ini ditemukan, bahwa sebenarnya Q.S. al-Nisa>’(4): 34 tidak tepat dijadikan legitimasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan (secara umum), karena ayat ini berbicara mengenai kepemimpinan dalam konteks keluarga, dibuktikan dengan adanya penyebutan pemberian nafkah dalam ayat tersebut. Secara normatif pemberian nafkah hanya wajib diberikan dalam jalinan dan ikatan rumahtangga. Dalam ayat tersebut, kata qawwa>mu>na tidak berkolokasi dengan kata al-z\akar tetapi berkolokasi dengan al-rija>l. Dalam al-Qur’an istilah yang digunakan untuk menyebutkan laki-laki dan perempuan ada dua jenis yang pertama al-rija>l dan al-nisa>’ (digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan dalam arti gender), yang kedua al-z\akar dan al-uns\a (digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan dalam arti jenis kelamin). Penggunaan kata fad}l dalam al-Qur’an tidak selalu menunjukkan kelebihan yang absolut karena ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin. Sedangkan kelebihan laki-laki atas perempuan adalah bersifat kasbi, karena bersifat kasbi perempuan memperoleh peluang yang sama dengan laki-laki sesuai dengan fungsinya masing-masing yang saling melengkapi satu sama lain, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah(2): 187. dan Q.S. al-Nisa>’(4):124.

PARADIGMA TAFSIR FEMINIS

Judul: Paradigma Tafsir Feminis (Studi Atas Pemikiran Amina Wadud, Asghar Ali Engineer dan Muhammad Syahrūr)

Oleh: Hanifah


ABSTRAKSI


Memasuki abad dua puluh dunia ramai dengan perubahan dan perkembangan di segala bidang, termasuk kemajuan ilmu-ilmu sosial. Dan ditengah kemajuan itu, pendekatan jender terhadap dehumanisasi sosial mulai dilakukan, yaitu seiring dengan maraknya isu kesetaraan dan kemitrajajaran antara perempuan dan laki-laki. Pendekatan jender tersebut, melahirkan kesadaran sosial bahwa selama ini di realitas sosial telah terjadi diskrimasi dan penindasan terhadap perempuan, serta pendustaaan nilai-nilai kemanusiaan. Diantara hal baru yang dilakukan adalah melakukan analisis atas beberapa atribut sosial dan keagamaan yang selama ini menjadi justifikasi ketidakadilan sosial.

Selanjutnya dalam konteks keagamaan mulai marak isu pentingnya reinterpretasi ayat-ayat jender, dalam rangka menemukan aribut-atribut sosial yang selama ini masuk dalam penafsiran al-Qur'an serta menelaah kembali semangat keadilan dan kemanusiaan yang dibawa oleh Islam. Kemajuan ini, disatu sisi memberikan perubahan terhadap paradigma berpikir, telah menyita perhatian intelektual muslim-feminis untuk melakukan pengembangan metodologis guna melahirkan penafsiran yang berperspektif jender dan berkeadilan sosial. Yang diantaranya dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer dan Muhammad Syahru>r.

Dan dalam rangka menelaah pemikiran ketiganya dalam kerangka paradigmatik, maka dipergunakan penyajian secara diskriptif guna mendapatkan informasi secara komprehensif mengenai asumsi, proposisi serta konsep dan teori yang mendasari urgenitas kajian ayat-ayat jender dan kebutuhan untuk mengembangkan metodologinya. Dan selanjutnya dianalisa secara mendalam (content analysis).

Berdasarkan kerangka paradigmatik tersebut maka terungkaplah bahwa pemikiran Amina tentang reinterpretasi ayat-ayat jender berorientasi pada realitas historis-patriarkhis, dengan menggunakan nalar epistemologi bayani. Sedangkan dalam hermenutik Amina cenderung mempergunakan hermenutika –feminis, yaitu dengan menggunakan jender perspective. Sedangkan Asghar lebih berorientasi pada realitas historis-ideologis, dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Sebagaimana Amina, pemikiran Asghar lahir dari nalar epistemologi bayani, dengan menggunakan hermenutika pembebasan untuk teologi pembebasan Islam. Selanjutnya Syahru>r berorientasi pada realitas rasional-empirik, yaitu dengan menggunakan nalar epistemologi burhani. Dan menggunakan dua pendekatan huddudiyah dan sosiologis. Sementara itu Syahru>r mengembangkan analisa sintagmatik-paradigmatik untuk memunculkan makna ayat-ayat jender.

Dengan demikian, kajian ini merupakan kajian paradigmatik dalam konteks penafsiran ayat-ayat jender dan pengembangan metodologinya dalam konteks studi penafsira al-Qur'an.

Kamis, 08 Januari 2009

banner

Kabar Terakhir

Kamis, 27 September 2007 BEDAH FILM "BABLE" Pada 21 September 2007 lalu, BEM Jurusan Tafsir dan Hadis mengadakan Bedah Film ”Babel” dengan pembedah Najib Kaelani. Tidak hanya itu, ”pembedahan” juga dilakukan oleh BEM jurusan itu dengan bentuk Bedah Skripsi Mahasiswa, Bedah Wacana, dan Bedah Disertasi. Bedah skripsi yang belum lama digelar adalah skripsi bertajuk ”Kelas Sosial dalam al-Qur’an”, sedangkan bedah wacana mengambil tema ”Pergeseran Paradigma Penafsiran al-Qur’an”. Sementara itu, bedah disertasi dilakukan oleh Millah Ibrahim pada karya Dr. Waryono Abdul Ghafur. Menurut Ketua BEM Jurusan Tafsir dan Hadis, Lien Iffah Naf’atu Fina, kegiatan ”pembedahan” itu akan terus dilakukan untuk pengembangan keilmuan dan wawasan mahasiswa Jurusan Tafsir dan Hadis. ”Kami juga menerbitkan buletin Jum’at bernama Al-Burhan yang terbit satu bulan sekali dan sampai saat ini sudah terbit tiga kali. Buletin itu kami buat untuk menjadi wadah kemampuan menulis mahasiswa TH sekaligus menjadi sumbangsih kami bagi dunia TH dalam menyelesaikan problem perspektif di TH, ” jelas Lien, gadis berkaca mata itu, ketika menutup laporannya. (AS) sumber: Admin TH (Tafsir Hadits)